OPINI  

Cinta Rasional dan Demokrsi yang Emosional

Oleh Harissuddin Hakiki

Dalam dunia yang semakin rumit saat ini, batas antara rasio dan perasaan tidak lagi bisa dipisahkan dengan jelas. Dua ide utama yang mencerminkan area ini adalah cinta yang berbasis rasionalitas dan demokrasi yang bersifat emosional. Keduanya sering kali ditempatkan pada sisi yang berlawanan cinta dipandang sebagai aspek emosional yang mendalam, sedangkan demokrasi dipahami sebagai sebuah sistem yang logis dan berbasis pertimbangan.

Akan tetapi, dalam konteks zaman sekarang, terjadi perubahan signifikan cinta kini kita lihat melalui lensa rasional, sementara demokrasi semakin dipengaruhi oleh perasaan bersama.

Cinta kini bukan hanya sekadar emosi yang muncul dengan tiba-tiba. Dalam berbagai penelitian di bidang filsafat dan psikologi moral, cinta dipandang sebagai sesuatu yang bertumpu pada logika, dan bahkan dapat dipertanggungjawabkan secara etika.

Filsuf seperti Harry Frankfurt dalam bukunya The Reasons of Love (2004) menguraikan bahwa cinta merupakan bentuk perhatian yang diberikan oleh seseorang secara sadar dan berdasarkan pertimbangan. Cinta bukan hanya sekedar perasaan yang muncul dan menghilang, melainkan ungkapan dari nilai-nilai yang telah dijadikan bagian diri.

Begitu juga dengan pendapat Immanuel Kant, cinta yang hakiki adalah “praktis” artinya, diwujudkan melalui tindakan yang baik dan komitmen moral, dan bukan hanya sekedar emosi lembut yang pasif (Kant, Metaphysics of Morals, 1797).

Dalam konteks ini, cinta berfungsi sebagai jenis kebajikan rasional, sebuah tindakan yang disengaja untuk memandang orang lain sebagai tujuan, bukan sebagai sarana. Namun, pendekatan yang logis terhadap cinta menciptakan beberapa masalah filosofis dan eksistensial.

Banyak orang percaya bahwa cinta yang terlalu didasarkan pada logika kehilangan esensi emosionalnya. Jika cinta hanya didasari pada alasan atau karakteristik tertentu (seperti kecerdasan, nilai-nilai moral, atau pandangan yang sejalan), bagaimana bisa dijelaskan cinta yang tetap ada meskipun alasan-alasan tersebut sudah tidak ada? Apakah cinta yang bisa dijelaskan masih dapat dianggap sebagai cinta yang sejati? Ini adalah dilema utama dari cinta yang rasional: ketegangan antara akal dan keikhlasan.

Sementara itu, demokrasi yang seharusnya didasarkan pada prinsip rasional, keterlibatan yang sadar, dan diskusi terbuka sedang mengalami perubahan besar dalam penerapannya. Dalam zaman digital dan populisme, emosi menjadi unsur yang semakin berpengaruh dalam ranah politik.

Beberapa pakar ilmu politik menyebut fenomena ini sebagai “demokrasi emosional” atau “emocracy”. Pemikir politik Alexander Steffen menegaskan bahwa demokrasi saat ini tidak dapat berjalan hanya atas dasar fakta dan akal sehat. Sebaliknya, perasaan seperti empati, kemarahan, ketakutan, dan harapan menjadi cara utama untuk menggerakkan opini masyarakat dan mendorong partisipasi warga negara.

Di sisi lain, laporan dari Financial Times (2024) mengungkapkan bahwa politik berbasis emosi berisiko menciptakan polarisasi, memicu disinformasi, dan menggerus kepercayaan terhadap institusi. Emosi yang tidak dikelola justru dapat menjadikan demokrasi sebagai arena konflik identitas, bukan ruang deliberasi rasional.

Kampanye politik seringkali lebih efektif ketika membangkitkan rasa takut atau marah, dibandingkan ketika menawarkan data dan solusi nyata. Inilah yang menyebabkan banyak ahli menyatakan bahwa demokrasi telah berubah menjadi “medan pertempuran narasi emosional”.

Sejalan dengan hal itu, dalam konteks cinta yang rasional kerap kali menemukan permasalahan yang timbul yaitu mengurangi arti cinta menjadi sebuah analisis yang rasional. Saat cinta hanya dinilai dari sudut pandang logika, elemen kebetulan dan keikhlasan bisa jadi menghilang, kemudian menghadapi kesulitan dalam menggambarkan ketertarikan emosional yang tidak masuk akal. tidak semua cinta dapat dipahami dengan cara yang logis.

Sedangkan dalam konteks demokrasi emosional kekuasaan emosi kerap kali ditekankan pada arena publik seperti kecemasan atau permusuhan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh tokoh politik. Menurunnya kualitas deliberasi (pertimbangan yang mendalam) mengakibatkan wacana publik menjadi dangkal dan reaktif, bukan reflektif. Sehingga masyarakat terbelah dalam kelompok emosi, bukan berdasarkan gagasan.

Dengan demikian fenomena cinta yang rasional dan demokrasi yang dipengaruhi emosi menunjukkan bahwa saat ini dunia semakin kompleks aspek pribadi dipenuhi oleh logika, sedangkan aspek publik dikuasai oleh perasaan. Hal ini mendorong kita untuk merancang cara yang lebih menyeluruh di mana logika tidak mengesampingkan emosi, dan perasaan tidak menghapus kemampuan berpikir.

Dalam konteks hubungan pribadi maupun ruang politik, diperlukan pemahaman tentang pentingnya keseimbangan antara perasaan dan rasio.

Frankfurt, H. (2004). The Reasons of Love. Princeton University Press.
Kant, I. (1797). Metaphysics of Morals.
Steffen, A. (2023). Democracy Should Be Sentimentalist Not Rationalist. Aeon.
Stone, D. (2012). Policy Paradox: The Art of Political Decision Making. W.W. Norton.
Financial Times. (2024). Is Democracy Being Replaced by Emocracy?
Stanford Encyclopedia of Philosophy. (2016). Love.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *